Lentera JSS –Koalisi Persma Bersuara Bersama (PBB) resmi menyerahkan rekomendasi kepada Dewan Pers soal perlindungan dan skema advokasi ketika terjadi kekerasan terhadap pers mahasiswa (persma). PBB mendesak Dewan Pers agar responsif dan memastikan setiap sengketa pemberitaan persma dijalankan dengan mekanisme pers.
“Kami terus mendorong Dewan Pers, agar tidak ada lagi kekerasan yang dialami pers mahasiswa,” kata Koordinator Forum Pers Mahasiswa Jabodetabek (FPMJ) Fadli Faturrahman, di Jakarta, pada Kamis, 19 Desember 2024.
Penyerahan rekomendasi itu berlangsung usai Diskusi Publik bertajuk “Kampus sebagai Ruang Demokrasi: Kebebasan Berekspresi Sudah Mati?” yang berlangsung di Kantor Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta. Tenaga Ahli Hukum dan Perundang-undangan Dewan Pers Hendrayana menerima langsung rekomendasi dari para aktivis pers mahasiswa itu.
Rekomendasi itu setidaknya memuat lima tuntutan dari persma. Adapun, lima tuntutan itu sebagai berikut.
1. Mendesak Dewan Pers memberikan pengakuan dan perlindungan kepada pers mahasiswa sebagai bagian dari aktor demokrasi dan ekosistem pers nasional.
2. Mendesak Dewan Pers untuk menyosialisasikan kerja sama dengan Kementerian Pendidikan soal Perlindungan Pers Mahasiswa
3. Mendesak Dewan Pers untuk menjalin kerja sama dengan Kementerian, Lembaga, maupun Institusi lain yang di dalamnya ada aktivitas pers mahasiswa. Senyampang, Dewan Pers juga harus merumuskan kebijakan yang lebih progresif berkaitan dengan perlindungan pers mahasiswa.
4. Menuntut dan mendesak semua kampus dan pihak terkait untuk mentaati perjanjian Dewan Pers dan Kementerian Pendidikan.
5. Meminta kampus untuk terus mendukung dan memfasilitasi aktivitas pers mahasiswa tanpa mencampuri urusan redaksi dan hal-hal yang melanggar kode etik jurnalistik.
Dalam kesempatan itu, Hendrayana mengatakan Dewan Pers akan terus terlibat dalam upaya perlindungan pers mahasiswa. Senyampang, Dewan Pers juga akan mendorong dan mendukung peningkatan kapasitas untuk para awak persma.
Hendrayana mengatakan Dewan Pers juga akan membantu kalau terjadi kekerasan yang dialami pers mahasiswa. “Kami siap membantu, bersurat saja ke Dewan Pers,” kata Hendrayana.
Pada November kemarin, Dewan Pers juga telah merilis Indek Kebebasan Pers (IKP) Nasional 2024. Hasilnya, IKP nasional turun untuk kedua kalinya dengan skor 69,36 persen. Pada 2023, IKP nasional parkir di posisi 71,57, atau anjlok dari 2022 dengan skor 77,88.
Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mencatat pada periode 2017-2019 terdapat 58 kasus represi yang dialami pers mahasiswa. Jumlah itu meningkat menjadi 185 kasus pada periode 2020-2021.
Hasil sigi yang digarap Bandungbergerak.id dan enam lembaga pers mahasiswa di Bandung Raya pada Mei-Juni 2023 lalu, tercatat total 34 kasus kekerasan yang menimpa pers mahasiswa di kawasan Bumi Pasundan dalam rentang 10 tahun terakhir. Dari 34 kasus tersebut, teridentifikasi sejumlah 61 tindak represi dalam berbagai macam bentuk.
Dari kedua data organisasi pers mahasiswa itu, pelaku represi pun tak jauh berbeda. Pelaku di antararanya pejabat kampus, polisi, TNI, narasumber, mahasiswa, orang tak dikenal, dan siapa saja yang merasa keberatan dengan pemberitaan pers mahasiswa.
Kasus terbaru menimpa lembaga pers mahasiswa di Universitas Hasanuddin, Makassar. Pada Kamis, 28 November 2024, anggota Polrestabes Makassar menangkap sebanyak lima pengurus pers mahasiswa bernama UKPM Catatan Kaki (UKPM CAKA) Universitas Hasanuddin. Penangkapan ini dinilai sewenang-wenang karena korps bhayangkara itu tak menunjukkan surat tugas penangkapan. Tak hanya itu, polisi pun menahan dan menginterogasi para awak pers mahasiswa UPKM CAKA hingga tengah malam.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin mengatakan perlindungan terhadap persma harus menjadi perhatian semua kalangan. Dia menyebut persma berperan penting dalam menjaga demokrasi di kampus. Karena itu, ketika terjadi kekerasan yang menimpa persma, setiap organisasi mahasiswa, masyarakat sipil, dan semua pihak mesti terlibat dalam advokasi dan pendampingan.
“Semangat ini harus dibangun terus. Tidak bisa berjalan sendiri,” kata Ade.
Sementara itu, Program Officer Yayasan Persahabatan Indonesia Kanada (YAPPIKA) Sari Wijaya menyebut kampus sudah seharunsya mengakui keberasaan pers mahasiswa dan ekosistem kritis di dalamnya. Menurut dia, jangan sampai kampus memposisikan mahasiswa atau mahasiswa hanya untuk belajar akademik, tapi juga mendukung upaya demokratisasi dan kebebasan di kampus.
“Suara dari mahasiswa di kampus wujud dari kebebasan akademik. Harus diakui negara dan kampus,” kata Sari.
Menurut Freedom House Index, posisi Indonesia di Global Freedom Score juga mengalami kemerosotan dari 60 pada 2020 menjadi 57 pada 2024. Indonesia dimasukkan ke kategori “partly free” atau bebas terbatas.
Leave a Reply