Perkembangan jurnalistik tidak terlepas dari perkembangan situasi politik yang ada di Indonesia dengan berbagai kebijakan rezim penguasa yang menyertainya. Jurnalistik online periode pertama berkembang mulai 1995-1997 dengan ditandai hadirnya internet di Indonesia. Awal munculnya Internet Service Provider (ISP), Web Service, fenomena Mailing List apakabar yang cukup sensasional pada waktu itu, yaitu runtuhnya orde baru oleh gerakan reformasi di era reformasi, Tempo Interaktif dan Kompas Cyber Media.
Periode kedua mulai 1998-2001 yang ditandai fenomena dotcom dan bergugurannya dotcom oleh pencabutan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) oleh menteri penerangan Yunus Yosfiah pada kabinet Presiden Habibie yang menandakan era kebebasan pers menjadi lebih baik dari sebelumnya, dan jurnalisme online di Indonesia mulai memasuki tahap periode ketiga dimana berita telah didesain secara khusus untuk media web sebagai sebuah alat komunikasi.
Periode ketiga dimulai sejak 2002 hingga sekarang adalah fenomena jurnalistik online multimedia atau web casting dengan produk dan layanan seperti news feed, podcast, berita pada mobile phones, serta perangkat mobile lainnya. Hal tersebut merupakan akibat perkembangan teknologi informasi jaringan yang berimbas pada media. Walaupun tidak mengesampingkan adanya kebutuhan akses kebebasan informasi yang cepat dan transparan, serta tidak dibatasi ruang dan waktu juga adanya kepecayaan masyarakat itu sendiri pada berita online.
Perkembangan kegiatan jurnalistik di Indonesia diawali oleh Belanda. Sejarah jurnalistik di Indonesia dimulai pada abad ke-18, tepatnya pada 1744 ketika Bataviasche Nouvelles diterbitkan oleh penjajah Belanda. Pada 1776 juga terbit Vendu Niews yang berisi tentang berita pelelangan, juga diterbitkan oleh Belanda sebagai penjajah Indonesia. Surat kabar pertama sebagai bacaan orang pribumi yakni majalah Bianglala pada 1854 dan Bromartani pada 1885, keduanya di Weltevreden. Pada 1856 terbit Soerat Kabar Bahasa Melajoe di Surabaya.Pemerintah Indonesia menggunakan Radio Republik Indonesia (RR) sebagai media komunikasi. Menjelang penyelenggaraan Asian Games IV, pemerintah memasukkan proyek televisi. Sejak tahun 1962 inilah Televisi Republik Indonesia (TVR) muncul dengan teknologi layar hitam putih.
Namun, pada masa Presiden Soeharto, banyak terjadi pemberangusan terhadap media massa. Kasus Harian Indonesia Raya dan Majalah Tempo merupakan dua contoh nyata dalam sensor kekuasaan yang dipegang melalui Departemen Penerangan (Deppen) dan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Titik kebebasan pers mulai terasa lagi saat BJ Habibie menggantikan Soeharto sebagai Presiden RI, pada 1998. Banyak media massa yang muncul dan PWI pun tidak lagi menjadi satu-satunya organisasi profesi kewartawanan.
Apalagi setelah lahirnya Undang-Undang No. 40 Tahun 1999, Undang-Undang Penyiaran dan Kode Etik jurnalistik, kegiatan jurnalistik di Indonesia makin semarak. Terlebih setelah lahirnya Pasal 28 F Undang-Undang Dasar 1945 yang memberikan kebebasan luar biasa kepada setiap warga negara untuk melakukan kegiatan jurnalistik. Titik itu merupakan titik pangkal lahirnya citizen journalism atau jurnalistik warga.
Sumber: Buku ‘Jurnalistik’ karya Muhammad Adhitya Hidayat Putra
Leave a Reply